Problem hubungan agama dengan
ilmu
Sebelum kita
berbicara secara panjang lebar seputar hubungan antara agama dengan ilmu dengan
segala problematika yang bersifat kompleks yang ada didalamnya maka untuk
mempermudah mengurai benang kusut yang terjadi seputar problematika hubungan
antara agama dengan ilmu maka kita harus mengenal terlebih dahulu dua definisi
pengertian ‘ilmu’ yang jauh berbeda satu sama lain,yaitu definisi pengertian
‘ilmu’ versi sudut pandang Tuhan dan versi sudut pandang manusia yang lahir
melalui kacamata sudut pandang materialist.
Pertama adalah
definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang materialistik yang kita kenal
sebagai ‘saintisme’ yang membuat definisi pengertian ‘ilmu’ sebagai berikut : ‘ilmu
adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’,(sehingga bila
mengikuti definisi saintisme maka otomatis segala suatu yang bersifat abstrak -
gaib yang berada diluar wilayah pengalaman dunia indera menjadi tidak bisa dimasukan
sebagai wilayah ilmu).faham ini berpandangan atau beranggapan bahwa ilmu adalah
‘ciptaan’ manusia sehingga batas dan wilayah jelajahnya harus dibingkai atau
ditentukan oleh manusia.
Kedua adalah definisi pengertian ‘ilmu’
versi sudut pandang Tuhan yang mengkonsepsikan
‘ilmu’ sebagai suatu yang harus bisa mendeskripsikan keseluruhan realitas baik
yang abstrak maupun yang konkrit sehingga dua dimensi yang berbeda itu bisa
difahami secara menyatu padu sebagai sebuah kesatuan system.pandangan Ilahiah
ini menyatakan bahwa ilmu adalah suatu yang berasal dari Tuhan sehingga batas
dan wilayah jelajahnya ditentukan oleh Tuhan dan tidak bisa dibatasi oleh
manusia, artinya bila kita melihatnya dengan kacamata sudut pandang Tuhan dalam
persoalan cara melihat dan memahami ‘ilmu’ manusia harus mengikuti pandangan
Tuhan.
Bila kita
merunut asal muasal perbedaan yang tajam antara konsep ilmu versi saintisme
dengan konsep ilmu versi Tuhan sebenarnya mudah : kekeliruan konsep ‘ilmu’
versi saintisme sebenarnya berawal dari pemahaman yang salah atau yang ‘bermata
satu’ terhadap realitas,menurut sudut pandang materialist ‘realitas’ adalah
segala suatu yang bisa ditangkap oleh pengalaman dunia indera,sedang konsep
‘realitas’ versi Tuhan : ‘realitas’ adalah segala suatu yang diciptakan oleh
Tuhan untuk menjadi ‘ada’,dimana seluruh realitas yang tercipta itu terdiri
dari dua dimensi : yang abstrak dan yang konkrit, analoginya sama dengan
realitas manusia yang terdiri dari jiwa dan raga atau realitas komputer yang
terdiri dari software dan hard ware.
Berangkat
dari pemahaman terhadap realitas yang bersifat materialistik seperti itulah
kaum materialist membuat definisi konsep ilmu sebagai berikut : ‘ilmu adalah
segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’ dan metodologi ilmu
dibatasi sebatas sesuatu yang bisa dibuktikan secara empirik.
Ini adalah konsep yang bertentangan
dengan konsep dan metodologi ilmu versi Tuhan,karena realitas terdiri dari dua
dimensi antara yang konkrit dan yang abstrak maka dalam pandangan Tuhan (yang
menjadi konsep agama) konsep ‘ilmu’ tidak bisa dibatasi sebatas wilayah
pengalaman dunia indera dan metodologinya pun tidak bisa dibatasi oleh keharusan
untuk selalu terbukti langsung secara empirik oleh mata telanjang,sebab dibalik
realitas konkrit ada realitas abstrak yang metodologi untuk memahaminya pasti berbeda
dengan metodologi untuk memahami ilmu material (sains),dan kedua : manusia
bukan saja diberi indera untuk menangkap realitas yang bersifat konkrit tapi
juga diberi akal dan hati yang memiliki ‘mata’ dan pengertian untuk menangkap
dan memahami realitas atau hal hal yang bersifat abstrak.dimana akal bila
digunakan secara maksimal (tanpa dibatasi oleh prinsip materialistik) akan bisa
menangkap konstruksi realitas yang bersifat menyeluruh (konstruksi yang menyatu
padukan yang abstrak dan yang konkrit),dan hati berfungsi untuk menangkap
essensi dari segala suatu yang ada dalam realitas ke satu titik pengertian.
Mengapa bisa
terjadi sesuatu yang dianggap sebagian manusia sebagai ‘benturan antara agama
dengan ilmu’ (?) bila dilihat dengan kacamata Ilahi sebenarnya bukan terjadi
benturan antara agama dengan ilmu sebab baik agama maupun ilmu keduanya adalah
dua aspek yang saling mengisi satu sama lain yang mustahil berbenturan,sebab
ada saling ketergantungan yang mutlak antara keduanya.benturan itu terjadi lebih
karena faktor kesalah fahaman manusia termasuk karena kesalahan manusia dalam
membuat definisi pengertian ‘ilmu’ sebagaimana yang dibuat oleh saintisme itu.
Bila kita
runut fitnah benturan antara agama dengan ilmu itu terjadi karena berbagai
sebab,pertama : manusia membatasi definisi pengertian ‘ilmu’ diseputar wilayah
dunia indera,sebaliknya agama tidak membatasi wilayah ilmu sebatas wilayah
pengalaman dunia indera (karena ilmu harus mendeskripsikan keseluruhan realitas
baik yang abstrak maupun yang lahiriah-konkrit) sehingga otomatis ilmu yang di
persempit wilayah jelajahnya (sehingga tak boleh menjelajah dunia abstrak) itu kelak
akan menimbulkan banyak benturan dengan agama.jadi yang berbenturan itu bukan
agama vs ilmu tapi agama versus definisi pengertian ‘ilmu’ yang telah
dipersempit wilayah jelajahnya.
Dan kedua : fitnah
benturan ‘agama vs ilmu’ terjadi karena ada banyak ‘benalu’ didunia sains yang
mengatas namakan sains padahal hanya teori belaka yang bersifat spekulatif,kemudian
teori itu dibenturkan dengan agama sehingga orang awam melihatnya seperti
‘benturan agama dengan ilmu’ (padahal itu hanya fitnah).untuk dihadapkan dengan
agama sains harus bersih dari teori khayali artinya sains tak boleh diwakili
oleh teori yang tidak berdasar kepada fakta seperti teori Darwin,sebab bila
saintis membuat teori yang tak sesuai dengan kenyataan otomatis pasti akan
berbenturan dengan agama sebab konsep agama berlandaskan kepada realitas yang
sesungguhnya (yang telah Tuhan ciptakan sebagaimana adanya).
Dalam konsep
Tuhan ilmu adalah suatu yang memiliki dua kaki yang satu berpijak didunia
abstrak dan yang satu berpijak didunia konkrit,dengan pemahaman terhadap konsep
ilmu seperti itu manusia akan bisa menafsirkan serta merekonstruksi agama.sebaliknya
konsep ilmu versi kaum materialistik hanya memiliki satu kaki yang hanya
berpijak didunia konkrit yang bisa dialami oleh pengalaman dunia indera
sehingga dengan konsep seperti itu otomatis ilmu akan menjadi seperti sulit
atau tidak bisa menafsirkan serta merekonstruksi agama.
Jadi bila ada fihak
yang memprovokasi seolah ada ‘benturan antara agama versus ilmu’ maka kita
harus analisis terlebih dahulu secara ilmiah jangan menelannya secara mentah,apalagi
dengan bersikap a priori terhadap agama.kasus Darwin sama sekali bukan benturan
antara agama vs ilmu tapi antara teori ‘ilmiah’ yang tidak berdasar fakta versus
deskripsi kitab suci,begitu pula kasus Galileo vs gereja itu bukan benturan
agama vs ilmu tapi antara temuan ilmuwan vs penafsiran pendeta terhadap kitab
sucinya yang belum tentu tepat,(tidak ada ayat kitab suci yang secara
astronomis menyatakan bumi sebagai pusat galaksi tata surya dan harus difahami saat
itu pendeta melihatnya dari kacamata sudut pandang ‘filosofis’).
‘ilmu’ dalam
saintisme ibarat kambing yang dikekang oleh tali pada sebuah pohon ia tak bisa
jauh melangkah karena dibatasi wilayah jelajahnya harus sebatas wilayah
pengalaman dunia indera sehingga ‘yang benar’ secara ilmiah menurut saintisme
adalah segala sesuatu yang harus terbukti secara empirik (tertangkap mata
secara langsung), dengan prinsip inilah kacamata saintisme menghakimi agama sebagai
sesuatu yang ‘tidak berdasar ilmu’.
Bandingkan ; dalam
agama wilayah jelajah ilmu itu luas tidak dibatasi sebatas wilayah pengalaman
dunia inderawi sebab itu konsep ‘ilmu’ dalam agama bisa merekonstruksikan
realitas secara keseluruhan baik yang berasal dari realitas yang abstrak (yang
tidak bisa tertangkap mata secara langsung) maupun realitas konkrit (yang bisa
tertangkap oleh mata secara langsung),jadi ‘ilmu’ dalam agama tidak seperti
kambing yang dikekang.
Kemudian
bila yang dimaksud ‘ilmu’ oleh kacamata sudut pandang saintisme adalah hanya yang
mereka sebut sebagai ‘sains’ maka itu adalah pandangan yang keliru,sebab untuk
mendefinisikan apa itu ‘sains’ kita harus berangkat dari dasar
metodologinya,bila metodologi sains adalah metode empirisme dimana parameter kebenaran
ilmiah nya adalah bukti empirik maka kita harus mendefinisikan ‘sains’ sebagai
‘ilmu seputar dunia fisik-materi’ sebab hanya dunia fisik-materi itulah yang
bisa dibuktikan secara empirik,sedang definisi pengertian ‘ilmu’ menurut versi
Tuhan adalah konsep atau jalan atau cara untuk mengelola dan memahami
keseluruhan realitas baik yang abstrak maupun yang konkrit (sehingga kedua alam
itu bisa difahami sebagai sebuah kesatuan unit-sistem),dan metodologi ilmu
versi Tuhan itu tidak dibatasi oleh keharusan bukti empirik sebab pertama :
realitas itu terdiri dari yang abstrak dan yang konkrit sehingga untuk memahami
keduanya secara menyatu padu otomatis metodologi ilmu tak bisa dikonsep harus
sebatas yang bisa terbukti secara empirik sebab bila dibatasi dengan batasan
materialistik seperti itu maka dunia abstrak menjadi keluar dari konstruksi
ilmu’.
Sebab itu bila ilmu diibaratkan sebuah bangunan besar yang
memiliki banyak ruang maka ‘sains’ (termasuk teknologi) didalamnya adalah salah
satu kamarnya.inilah gambaran tentang konsep ‘ilmu’ yang tidak difahami kaum
materialist,yang gambarannya tentang konsep ‘ilmu’ hanya hidup diseputar ruang
‘sains’.ia lupa atau tidak tahu bahwa teramat banyak ruang ‘ilmu’ lain yang
untuk memasukinya memiliki metode yang berbeda dengan sains.
Jadi mesti diingat bahwa ‘sains’ pengertiannya kini harus
difahami sebagai ‘ilmu seputar dunia materi’ (yang bisa terbukti secara
empirik) agar dalam pandangan manusia pengertiannya tidak tumpang tindih dengan
definisi pengertian ‘ilmu’ yang sebenarnya. jadi ‘sains’ bukanlah ilmu dalam
pengertian yang bersifat menyeluruh karena wilayah cakupannya terbatas sebatas
dunia materi yang bisa di tangkap dunia indera, (sebab itu sungguh janggal bila
parameter sains digunakan sebagai alat untuk menghakimi agama yang wilayah
jelajahnya meliputi keseluruhan realitas,sebab itu sama dengan meteran tukang
kayu digunakan untuk mengukur lautan nan dalam).
Artinya bila
dilihat dari kacamata sudut pandang Tuhan maka apa yang dimaksud ‘sains’ sebenarnya
adalah salah
satu cabang ilmu,tapi kacamata sudut pandang saintisme mengklaim
bahwa (satu satunya) definisi pengertian ‘ilmu’ yang benar menurut mereka adalah
konsep saintisme / yang memparalelkan pengertian ‘ilmu’ dengan ‘sains’ seolah hanya
sains = ilmu,dan ilmu = hanya sains,dimana selain ‘sains’ yang lain hanya
dianggap sebagai ‘pengetahuan’ (sebagaimana telah tertera dalam buku buku teks filsafat
ilmu).
Kaum
materialist tidak mau menerima bila konsep ‘ilmu’ dikaitkan dengan realitas
dunia abstrak sebab saintisme berangkat dari kacamata sudut pandang
materialistik ‘bermata satu’.yang pasti bila kita menerima definisi konsep
‘ilmu’ versi ‘barat’ (dengan metodologi yang harus terbukti secara empirik)
maka agama seperti ‘terpaksa’ harus difahami sebagai ‘ajaran moral’ bukan
kebenaran berasas ilmu (sebagaimana pemahaman filsafat materialist terhadap
agama).padahal menurut konsep Tuhan agama adalah kebenaran berdasar ilmu,(hanya
‘ilmu’ yang dimaksud adalah konsep ilmu yang bersifat universalistik yang hanya
bisa difahami oleh manusia yang ‘bermata dua’/ bisa melihat kepada realitas
dunia abstrak dan dunia konkrit secara berimbang).
Jadi mari kita analisis masalah (ilmu dan
kebenaran ) ini dari dasar dari realitas yang bersifat menyeluruh,sehingga umat
manusia tidak terdoktrin oleh ‘kebenaran’ versi sudut pandang materialist yang sebenarnya
berpijak pada anggapan dasar bahwa yang real atau ‘realitas’ adalah hanya segala
suatu yang bisa tertangkap dunia indera (dan secara metodologis bisa dibuktikan
secara empirik),dan terlalu picik untuk bersandar pada anggapan demikian,
mengingat hanya sebagian kecil saja realitas yang bisa ditangkap oleh dunia
pengalaman indera manusia,sehingga wajar bila melalui agama Tuhan
memberitahukan kepada manusia realitas yang dunia panca indera manusia tidak
bisa menangkapnya.
Jadi bila saat
ini banyak pandangan yang ‘bias’ - ‘rancu’ seputar hubungan agama dengan ilmu
itu karena definisi pengertian ‘ilmu’ yang saat ini dominan dan menguasai dunia
adalah definisi ‘ilmu’ versi saintisme itulah,dan banyak orang yang belum bisa
mengoreksi pandangan saintisme itu dari benaknya, banyak orang yang tanpa sadar
memakai kacamata saintisme dalam memahami hubungan agama dengan ilmu sehingga
kala melihat agama ia melihatnya sebagai suatu yang seolah ‘berada diluar
wilayah ilmu’, itu karena saintisme membatasi ‘ilmu’ sebatas wilayah pengalaman
dunia inderawi. sedang definisi pengertian ‘ilmu’ versi Tuhan memang hanya
difahami sedikit orang yang memiliki pandangan berimbang antara melihat kedunia
abstrak dengan melihat ke dunia konkrit.
Agama yang
difahami secara benar dan ilmu pengetahuan yang juga difahami secara benar
akankah bertentangan (?),mustahil ! sebab dua hal yang benar mustahil
bertentangan satu sama lain melainkan akan saling mengisi satu sama lain walau masing
masing mengisi ruang yang berbeda serta mengemukakan kebenaran dalam persepsi
yang berbeda.(hanya manusia yang sering tidak bisa menyatu padukan beragam ruang
serta beragam persepsi yang berbeda beda itu padahal semua ada dalam satu
realitas keseluruhan dan mengkristal kepada suatu kesatuan
konsep-makna-pengertian).
Agama dan ilmu
telah menjadi korban fitnah besar dan telah menjadi seperti ‘nampak
bertentangan’ karena dalam sejarah telah terjadi provokasi besar besaran oleh
kacamata sudut pandang ideology materialistik yang memposisikan agama dan ilmu
pada posisi yang seolah bertentangan,karena kacamata sudut pandang
materialistik melihat-memahami dan mengkonsepsikan agama secara salah juga
melihat-memahami dan mengkonsepsikan ‘ilmu’ secara salah akibatnya mereka (materialist)
sulit menemukan keterpaduan antara agama dengan ilmu.
Sebab itu bila
ingin memahami konsep agama dan ilmu secara benar kaji kitab suci secara ilmiah
dengan tidak bersikap a priori secara negative terlebih dahulu.dan yang mesti
diingat adalah bahwa segala bentuk hipotesa - teori yang tidak berdasar
fakta-yang cuma khayalan - yang cuma teori-filosofi seputar sains yang berdasar
ideology materialist (bukan murni sains),semua adalah ‘karat’ yang membuat
agama dengan ilmu akan nampak menjadi bertentangan, sebab agama hanya menerima
yang berdasar fakta kenyataan sebagaimana yang Tuhan ciptakan.ironisnya tidak
sedikit ilmuwan-pemikir yang menelan mentah mentah konsep saintisme ini sehingga
agama dan ilmu menjadi nampak berada pada kotak yang berjauhan yang seperti
sulit atau tidak bisa disatu padukan,bahkan pengkaji masalah hubungan
agama-ilmu seperti Ian g. barbour sekalipun belum bisa melepas kacamata
saintisme ini dari kacamata sudut pandangnya sehingga ia menemukan kerumitan
yang luar biasa kala membuat peta hubungan antara agama dengan ilmu.
‘Sains murni’ seperti hukum fisika mekanisme
alam semesta,hukum hukum ilmu fisika murni, matematika murni,ilmu tentang
listrik,ilmu biology dlsb.yang memiliki bukti fakta empirik yang konkrit yang
pasti dan terukur pada dasarnya pasti tidak akan bertentangan dengan agama
justru kelak akan menguatkan pandangan agama,tapi teori khayali yang tak berdasar
kenyataan seperti Darwin pasti akan berbenturan dengan agama,tapi oleh kaum
materialist ilmiah justru teori inilah yang dihadapkan pada garis terdepan
(seolah ia mewakili dunia ilmu !) dan dibenturkan secara langsung dengan agama
kala membahas masalah hubungan agama dengan ilmu hingga lahirlah salah satu
fitnah akhir zaman yang terbesar sepanjang sejarah didunia.
Saat ini
dengan eksistnya ideology materialisme ilmiah di dunia sains nampak fitnah itu seperti
dijaga ketat supaya terus ada hingga kini dengan berbagai cara bahkan dengan
cara yang tidak ilmiah sekalipun,seperti contoh : kengototan luar biasa dalam mempertahankan
teori Darwin saat teori itu makin terbukti tidak memiliki validitas ilmiah-kemudian
penafsiran teori relativitas dan lalu fisika kuantum ke arah yang sudah bukan
sains lagi yaitu ke tafsir tafsir materialistik,harus diwaspadai dibalik semua itu
ada fihak yang tidak ingin agama dan ilmu nampak sebagai dua konsep menyatu padu
sebab kesatu paduan agama dengan ilmu sudah pasti akan menghancurkan ‘kredibilitas
ilmiah’ ideology atheistik materialistik yang bersembunyi dibalik wacana wacana
filsafat-sains.
Pemikiran-pandangan-opini-pernyataan sudut
pandang materialist itulah yang membuat filsafat-sains nampak selalu
berbenturan langsung dengan agama,dan mereka (materialist) berusaha memonopoli tafsir tafsir seputar
sains sehingga penafsir sains yang menafsirkan segala suatu seputar sains
diluar cara pandang mereka akan langsung distigma kan sebagai pernyataan yang
‘apologistik’ (dibuat buat agar nampak ‘ilmiah’).
Kesimpulannya
: adanya dua konsep ‘ilmu’ melahirkan adanya dua konsep kebenaran yang jauh
berbeda : kebenaran versi sudut pandang manusia dan kebenaran versi sudut
pandang Tuhan. (karena ilmu adalah konstruksi dari konsep kebenaran).dimana
’kebenaran’ versi sudut pandang manusia yang terkonsep dalam ‘saintisme’ adalah
bentuk kebenaran yang wilayah cakupan nya terbatas pada segala suatu yang
tertangkap dunia pengalaman indera dan atau bisa dibuktikan secara empirik,berbeda
jauh dengan konsep ‘kebenaran’ versi Tuhan yang wilayah cakupan nya meliputi
serta merangkum keseluruhan realitas (yang abstrak dan yang konkrit).
Dengan
mengenal konstruksi dari dua bentuk konsep kebenaran yang jauh berbeda akan
mempermudah kita dalam mengurai problem agama dengan ilmu termasuk juga problem
benturan yang paling mendasar antara kacamata sudut pandang ‘Barat’ dengan
Islam.dan harus disadari kita harus memiliki kerangka dasar ilmiah yang
konstruktif dalam melawan dominasi konsep - pengertian ‘ilmu’ versi barat.
Dengan
membaca tulisan ini mudah mudahan orang orang mulai bisa melepaskan diri dari
kacamata sudut pandang ‘saintisme’ dalam cara melihat dan memahami definsi
‘ilmu’,sebab bila definisi pengertian’ilmu’ sudah dilepas dari kacamata
saintisme maka posisi agama otomatis akan menjadi kuat sebab kunci kekuatan
agama diakhir zaman memang bila agama telah difahami secara menyatu padu dengan
ilmu serta direkonstruksi secara ilmiah melalui jalan ilmu.(sebab tanpa
argumentasi ilmiah yang kuat agama sering dianggap ‘hanya ajaran moral’ atau ‘hanya
dogma’).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar